SUBYEKTIVISME DAN OBYEKTIVISME
SUBYEKTIVISME
• Pengetahuan dipahami sebagai keyakinan yang dianut oleh individu.
• Dari pangkal pandangan individu, pengetahuan dipahami
sebagai seperangkat keyakinan khusus yang dianut oleh para individu.
• Pendukung pandangan ini adalah:
1. Aristoteles, Plato, Rene Descartes
2. Kaum Solipsisme (solo ipse)
3. Kaum Realisme Epistemologis
4. Kaum Idealisme Epistemologis
Subyektivisme
Ciri-ciri pendekatan Subyektivisme:
– Menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus (semacam
kepercayaan yang istimewa),misalnya sejarah, kepercayaan2 yg lain, dst.
– Pengalaman subyektif (kokoh terjamin) sebagai titik
tolak pengetahuan dari data inderawi (intuisi) diri sendiri.
– Prinsip subyektif tentang alasan cukup, karena
pengalamanan bersifat personal, benar secara pasti dan meyakinkan karena
berlaku sebagai pengetahuan langsung dari diri subyek.
SUBYEKTIVISME
DESCARTES:
–
Cogito
ergo sum cogitans: saya berpikir
maka saya adalah pengada yang berpikir.
–
Ketika
Descartes berbicara mengenai “berpikir”, ia tidak bermaksud secara
eksklusif pada penalaran saja, tetapi melihat, mendengar, merasa,
senang atau sakit, kehendak (seluruh kegiatan sadar) masuk dalam kegiatan
“berpikir”.
Subyektivisme
Realisme Epistemologis: berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan
“apa yg lain” dari diri saya.
Idealisme Epistemologis: berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir
di dlm suatu ide, yg merupakan suatu peristiwa subyektif murni.
Subyektivisme
–
Banyak filsuf sesudah Descartes mengandaikan
bahwa satu-satunya hal yg dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita
sendiri dan kegiatan sadar kita.
–
Pengetahuan tentg diri sendiri merupakan
pengetahuan langsung.
Subyektivisme
– Semua pengetahuan ttg sesuatu “yang
bukan aku” atau “yang
diluar diri sendiri”
diragukan
kepastian kebenarannya.
–
Pengetahuan tentang “yang bukan aku” merupakan pengetahuan tidak langsung.
Subyektisme
–
Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya
sendiri dan mengetahui dunia obyektif di luar diri?
–
Bagaimana
kita ketahui apakah gagasan
tentang obyek sesuai dengan obyeknya itu sendiri dan bukan ilusi kita
sendiri?
Subyektivisme
Descartes
menolak skeptisme yang membawanya justru ke arah subyektivisme.
Sikap
dasar skeptisisme adalah kita tidak pernah tahu tentang
apa pun.
–
Menurut penganut skeptisisme mustahil manusia
mencapai pengetahuan tttg sesuatu, atau paling kurang manusia tidak pernah
merasa yakin apakah dirinya dapat
mencapai pengetahuan tertentu.
–
Skeptisisme meragu-ragukan kemungkinan bahwa
manusia bisa mengetahui sesuatu krn tidak ada bukti yang cukup bhw manusia benar2 tahu ttg sesuatu.
Subyektivisme
–
Descartes seorang rasionalis.
– Baginya rasio atau pikiran adalah
satu-satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan.
–
Descartes meragukan pengalaman inderawi dalam
menjamin kebenaran pengetahuan, termasuk pengetahuan ttg dunia luar kita.
Subyektivisme
–
Menurut Descartes bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa
dapat saja secara langsung memunculkan data-data indra dalam kesadaran kita tanpa harus ada “dunia
luar” yang mendasarinya.
–
Indera dapat memberikan pengetahuan tentang dunia fisik yang dapat
dipercayai
–
kebenaran bukan karena indera sendiri dapat
diandalkan, tetapi hanya berdasarkan keyakinan Tuhan yang menciptakan indera
pada manusia yang tdk mungkin menipu.
Subyektivisme
–
Kenyataan bukti bagi keyakinan nalar akan
adanya dunia luar atau “yang bukan aku” tidak kurang meyakinkan dibandingkan
bukti yang tersedia bagi kenyataan adanya subyek atau “aku”.
–
Descartes ke dalam posisi ekstrim yang
disebut Solipsisme. (bhasa Latin gabunga antara Solus dan ipse yang berarti
“ia sendiri pada dirinya”
–
Keberadaan atau pengetahuan mengenai “yang
lain” atau “yang bukan diri sendiri” hanya dapat disimpulkan secara tidak
langsung dari kebenaran dan pengetahuan mengenai diri sendiri.
Subyektivisme
–
Keberadaan sesuatu di luar diri atau “yang
bukan aku” dalam pengalaman sehari-hari misalnya menjadi jelas dari gejala bahasa.
–
Kenyataan adanya bahasa selalu mengandaikan
bahwa adanya pribadi atau subyek lain selain dirinya sendiri.
–
Bahasa sebagai saranan komunikasi untuk
menjalin hubungan dengan yang lain.
–
Berkaitan dengan gejala bahasa bahwa melalui
pengalaman sehari-hari terjadinya dilaog, yang mengandaikan adanya orang lain.
–
Dalam kesleuruhan proses dialog keberadaan
diandaikan adanya subyek lain atau “yang bukan aku” atau dia yang menjadi lawan
bicara ku.
Subyektivisme
–
Orang tdak akan mempunyai kesadaran eksplisit
ttg dirinya sebagai individu selain melalui interaksi dengan individu lain lain
atau “yang bukan aku”.
–
Kesadaran akan diri sendiri bukan suatu
intuisi langsung ttg diri dalam gagasan yang terpilah-pilah sebagaimana yang
dipahami Descartes.
– Kesadaran akan diri sendiri merupakan hasil dari
suatu proses bertahap melalui pengalaman pergulatan dengan dunia luar.
Subyektivisme
– Kita mengenal keberadaan dunia di luar diri
dari pengalaman berhadapa dan berinteraksi dengannya.
–
Aku bisa tahu bahwa orang lain yang menjadi
lawan bicara ku dalam dialog adalah pribadi seperti aku, karena dia
mengungkapkan perilaku sebagaimana aku berperilaku.
Subyektivisme
–
Aku sadar dan kenal diriku justru dalam
kesadaran dan pengenalan yang bukan aku.
– Dalam kenyataan hidup diri sebagai subyek
yang bukan hanya berfungsi sebagai penahu (knower), tetapi juga sebagai
pelaku (agen) tidak bisa mengandaikan adanya “yang lain” baik sebagai
obyek pengetahuan dan kegiatannya maupun sebagai sesama subyek dalam
dialog.
Subyektivisme
–
Apabila paham subyektivisme hanya mau
dikatakan ttg pentingnya peran subyek atau sisi subyektivitas pengetahuan, maka
paham ini masih dapat diterima.
–
Apabila mengklaim bahwa sesungguhnya ada dan
dapat diketahui dengan pasti itu hanyalah subyek dan gagasannya, sedangkan
semuanya yang lain baik adanya maupun dapat diketahui perlu diragukan, maka
paham subyektivisme tersebut tidak dapat diterima.
–
Demikian juga paham bahwa semua jenis
pengatahuan itu selalu bersifat subyektif atau tidak memiliki kebenaran
obyektif, paham semacam itu dalam epistemogi pastas di tolak
OBYEKTIVISME
–
Suatu
pandangan yang menekankan bahwa butir-butir pengetahuan manusia – dari soal
yang sederhana sampai teori yang kompleks – mempunyai sifat dan ciri yang melampaui
(di luar) keyakinan dan kesadaran individu (pengamat).
–
Pengetahuan
diperlakukan sebagai sesuatu yang berada diluar ketimbang di dalam pikiran
manusia.
–
Pendukung
pandangan ini adalah:
Popper, Latatos dan Marx
Popper, Latatos dan Marx
OBYEKTIVISME
–
Obyektivisme merupakan pandangan bahwa obyek
yang kita persepsikan melalui perantara indera kita itu ada dan bebas dari
kesadaran manusia.
–
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur
suatu gagasan berada pada objeknya.
–
Objektivisme diartikan sebagai pandangan yang
menganggap bahwa segala sesuatu yang difahami adalah tidak tergantung pada
orang yang memahami.
–
Obyektivisme
Ada 3 pandangan dasar Objektivisme:
- Kebenaran itu independen terlepas dari pandang subjektif,
- Kebenaran itu datang dari bukti faktual,
- Kebenaran hanya bisa didasari dari pengalaman inderawi.
Pandangan ini sangat dekat
dengan positivisme dan empirisme.
• Obyektivisme
Pengetahuan
dalam pengertian Objektivis:
• sepenuhnya
independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya ;
• Pengetahuan itu terlepas dari keyakinan
seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya atau
memakainya untuk bertindak.
• Pengetahuan
dalam pengertian obyektivis
adalah pengetahuan tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”
(Karl R. Popper)
• Obyektivisme
• Obyek
itu bersifat “umum” dalam arti bahwa obyek yang
sama dapat dipersepsikan
oleh pengamat yang jumlahnya tidak terbatas.
• Obyek-obyek
itu bersifat permanen, baik untuk dipersepsikan atau pun
tidak.
• Obyektivisme
• Obyek-obyek
memiliki kualitas-kualitas yang sama seperti yang disajikan kepada persepsi,
sehingga tindakan persepsi tidak mengubah sedikit pun obyek.
• Para filsuf Skolastik mengangap perlu untuk
memperbaiki beberapa keyakinan harian kita, yaitu: meletakkan “kesalahan” pada indera, karena
indera tidak pernah salah.
• Obyektivisme
Untuk mempercayai kebenaran
kesaksian inderawi, beberapa
syarat harus dipenuhi:
a. Obyek harus sesuai dengan jenis indera kita.
Warna-warna infra merah tidak cocok bagi indera kita.
b. Organ
indera harus normal dan sehat. Misalnya buta, tuli, atau buta warna.
Tidak dapat melakukan penginderaan secara obyektif.
c. Karena obyek ditangkap melalui medium, maka medium
itu harus ada. Misalnya, warna akan ditangkat idera dengan tepat apabila di
bawah sinar matahari dari pada di bawah sinar merah yang digunakan untuk
mencetak foto.
• Obyektivisme
Perlu mengingat pembedaan
antara obyek khusus dan obyek umum.
v Obyek
khusus merupakan data yang ditangkap hanya oleh satu indera.
Misalnya, warna, suara, bau.
v Obyek
umum merupakan data yang dapat ditangkap oleh lebih dari satu indera. Misalnya
keluasan dan gerakan yang dapat dilhat dan diraba atau oleh indera lainnya.
• Obyektivisme
• Keyakinan tidaklah selalu obyektif dalam
hubungannya dengan kesadaran pertimbangan, tetapi obyek-obyek konseptual
benar-benar bersifat obyektif.
• Masalah
persepsi tetap merupakan masalah yang paling besar yang tidak terpecahkan di
dalam keseluruhan epistemologi.
Sumber: ppt yang dikirimkan sesuai pertemuannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar