Sabtu, 20 September 2014

SUBYEKTIVISME DAN OBYEKTIVISME

SUBYEKTIVISME DAN OBYEKTIVISME
SUBYEKTIVISME 
Pengetahuan dipahami sebagai keyakinan yang dianut oleh individu.
 Dari pangkal pandangan individu, pengetahuan dipahami sebagai seperangkat keyakinan khusus yang dianut oleh para individu.
      Pendukung pandangan ini adalah:
1.    Aristoteles, Plato, Rene Descartes
2.    Kaum Solipsisme (solo ipse)
3.    Kaum Realisme Epistemologis
4.    Kaum Idealisme Epistemologis
Subyektivisme
Ciri-ciri pendekatan Subyektivisme:
  Menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus (semacam kepercayaan yang istimewa),misalnya sejarah, kepercayaan2 yg lain, dst.
  Pengalaman subyektif (kokoh terjamin) sebagai titik tolak pengetahuan dari data inderawi (intuisi) diri sendiri.
     Prinsip subyektif tentang alasan cukup, karena pengalamanan bersifat personal, benar secara pasti dan meyakinkan karena berlaku sebagai pengetahuan langsung dari diri subyek.
SUBYEKTIVISME
DESCARTES:
     Cogito ergo sum cogitans: saya berpikir maka saya adalah pengada yang berpikir.
     Ketika Descartes berbicara mengenai “berpikir”, ia tidak bermaksud secara eksklusif pada penalaran saja, tetapi melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak (seluruh kegiatan sadar) masuk dalam kegiatan “berpikir”.
Subyektivisme
Realisme Epistemologis: berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan “apa yg lain” dari diri saya.
Idealisme Epistemologis: berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dlm suatu ide, yg merupakan suatu peristiwa subyektif murni.
Subyektivisme
     Banyak filsuf sesudah Descartes mengandaikan bahwa satu-satunya hal yg dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan sadar kita.
     Pengetahuan tentg diri sendiri merupakan pengetahuan langsung.
Subyektivisme
  Semua pengetahuan ttg  sesuatu “yang bukan aku” atau yang diluar diri sendiri diragukan kepastian kebenarannya.
     Pengetahuan tentang “yang bukan aku merupakan pengetahuan tidak langsung.
Subyektisme
     Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia obyektif di luar diri?
     Bagaimana  kita ketahui apakah gagasan tentang obyek sesuai dengan obyeknya itu sendiri dan bukan ilusi kita sendiri?
Subyektivisme
Descartes menolak skeptisme yang membawanya justru ke arah subyektivisme.
 
Sikap dasar skeptisisme adalah kita tidak pernah tahu tentang apa pun.
     Menurut penganut skeptisisme mustahil manusia mencapai pengetahuan tttg sesuatu, atau paling kurang manusia tidak pernah merasa yakin apakah dirinya dapat mencapai pengetahuan tertentu.
     Skeptisisme meragu-ragukan kemungkinan bahwa manusia bisa mengetahui sesuatu krn tidak ada bukti yang cukup bhw manusia  benar2 tahu ttg sesuatu. 
Subyektivisme
     Descartes seorang rasionalis.
  Baginya rasio atau pikiran adalah satu-satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan.
     Descartes meragukan pengalaman inderawi dalam menjamin kebenaran pengetahuan, termasuk pengetahuan ttg dunia luar kita.
Subyektivisme
     Menurut Descartes bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa dapat saja secara langsung memunculkan data-data indra  dalam kesadaran kita tanpa harus ada “dunia luar” yang mendasarinya.
     Indera dapat memberikan pengetahuan tentang dunia fisik yang dapat dipercayai
      kebenaran bukan karena indera sendiri dapat diandalkan, tetapi hanya berdasarkan keyakinan Tuhan yang menciptakan indera pada manusia yang tdk mungkin menipu.
Subyektivisme
     Kenyataan bukti bagi keyakinan nalar akan adanya dunia luar atau “yang bukan aku” tidak kurang meyakinkan dibandingkan bukti yang tersedia bagi kenyataan adanya subyek atau “aku”.
     Descartes ke dalam posisi ekstrim yang disebut Solipsisme. (bhasa Latin gabunga antara Solus dan ipse yang berarti “ia sendiri pada dirinya”
     Keberadaan atau pengetahuan mengenai “yang lain” atau “yang bukan diri sendiri” hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari kebenaran dan pengetahuan mengenai diri sendiri.
Subyektivisme
     Keberadaan sesuatu di luar diri atau “yang bukan aku” dalam pengalaman sehari-hari misalnya menjadi jelas dari gejala bahasa.
     Kenyataan adanya bahasa selalu mengandaikan bahwa adanya pribadi atau subyek lain selain dirinya sendiri.
     Bahasa sebagai saranan komunikasi untuk menjalin hubungan dengan yang lain.
     Berkaitan dengan gejala bahasa bahwa melalui pengalaman sehari-hari terjadinya dilaog, yang mengandaikan adanya orang lain.
     Dalam kesleuruhan proses dialog keberadaan diandaikan adanya subyek lain atau “yang bukan aku” atau dia yang menjadi lawan bicara ku.
Subyektivisme
     Orang tdak akan mempunyai kesadaran eksplisit ttg dirinya sebagai individu selain melalui interaksi dengan individu lain lain atau “yang bukan aku”.
     Kesadaran akan diri sendiri bukan suatu intuisi langsung ttg diri dalam gagasan yang terpilah-pilah sebagaimana yang dipahami Descartes.
  Kesadaran akan diri sendiri merupakan hasil dari suatu proses bertahap melalui pengalaman pergulatan dengan dunia luar.
Subyektivisme
  Kita mengenal keberadaan dunia di luar diri dari pengalaman berhadapa dan berinteraksi dengannya.
     Aku bisa tahu bahwa orang lain yang menjadi lawan bicara ku dalam dialog adalah pribadi seperti aku, karena dia mengungkapkan perilaku sebagaimana aku berperilaku.
Subyektivisme
     Aku sadar dan kenal diriku justru dalam kesadaran dan pengenalan yang bukan aku.
   Dalam kenyataan hidup diri sebagai subyek yang bukan hanya berfungsi sebagai penahu (knower), tetapi juga sebagai pelaku (agen) tidak bisa mengandaikan adanya “yang lain” baik sebagai obyek pengetahuan dan kegiatannya maupun sebagai sesama subyek dalam dialog. 
Subyektivisme
     Apabila paham subyektivisme hanya mau dikatakan ttg pentingnya peran subyek atau sisi subyektivitas pengetahuan, maka paham ini masih dapat diterima.
     Apabila mengklaim bahwa sesungguhnya ada dan dapat diketahui dengan pasti itu hanyalah subyek dan gagasannya, sedangkan semuanya yang lain baik adanya maupun dapat diketahui perlu diragukan, maka paham subyektivisme tersebut tidak dapat diterima.
     Demikian juga paham bahwa semua jenis pengatahuan itu selalu bersifat subyektif atau tidak memiliki kebenaran obyektif, paham semacam itu dalam epistemogi pastas di tolak
OBYEKTIVISME
     Suatu pandangan yang menekankan bahwa butir-butir pengetahuan manusia – dari soal yang sederhana sampai teori yang kompleks – mempunyai sifat dan ciri yang melampaui (di luar) keyakinan dan kesadaran individu (pengamat).
     Pengetahuan diperlakukan sebagai sesuatu yang berada diluar ketimbang di dalam pikiran manusia.
     Pendukung pandangan ini adalah: 

 Popper, Latatos dan Marx
OBYEKTIVISME
     Obyektivisme merupakan pandangan bahwa obyek yang kita persepsikan melalui perantara indera kita itu ada dan bebas dari kesadaran manusia.
     Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya.
     Objektivisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang difahami adalah tidak tergantung pada orang yang memahami.
     Obyektivisme
 
Ada 3 pandangan dasar Objektivisme:
  1. Kebenaran itu independen terlepas dari pandang subjektif,
  2. Kebenaran itu datang dari bukti faktual,
  3. Kebenaran hanya bisa didasari dari pengalaman inderawi.
Pandangan ini sangat dekat dengan positivisme dan empirisme.
      Obyektivisme
Pengetahuan dalam pengertian Objektivis:
      sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya ;
      Pengetahuan itu terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya atau memakainya untuk bertindak.
      Pengetahuan dalam pengertian obyektivis adalah pengetahuan tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.” (Karl R. Popper)
      Obyektivisme
      Obyek itu bersifat “umum” dalam arti bahwa obyek yang sama dapat dipersepsikan oleh pengamat yang jumlahnya tidak terbatas.
      Obyek-obyek itu bersifat permanen, baik untuk dipersepsikan atau pun tidak.
      Obyektivisme
      Obyek-obyek memiliki kualitas-kualitas yang sama seperti yang disajikan kepada persepsi, sehingga tindakan persepsi tidak mengubah sedikit pun obyek.
       Para filsuf Skolastik mengangap perlu untuk memperbaiki beberapa keyakinan harian kita, yaitu: meletakkan “kesalahan” pada indera, karena indera tidak pernah salah.
      Obyektivisme
Untuk mempercayai kebenaran kesaksian inderawi, beberapa syarat harus dipenuhi:
            a. Obyek harus sesuai dengan jenis indera kita. Warna-warna infra merah tidak cocok bagi indera kita.
           b.   Organ indera harus normal dan sehat. Misalnya buta, tuli, atau buta warna. Tidak dapat melakukan penginderaan secara obyektif.
         c. Karena obyek ditangkap melalui medium, maka medium itu harus ada. Misalnya, warna akan ditangkat idera dengan tepat apabila di bawah sinar matahari dari pada di bawah sinar merah yang digunakan untuk mencetak foto.
      Obyektivisme
Perlu mengingat pembedaan antara obyek khusus dan obyek umum.
v  Obyek khusus merupakan data yang ditangkap hanya oleh satu indera. Misalnya, warna, suara, bau.
v  Obyek umum merupakan data yang dapat ditangkap oleh lebih dari satu indera. Misalnya keluasan dan gerakan yang dapat dilhat dan diraba atau oleh indera lainnya.
      Obyektivisme
     Keyakinan tidaklah selalu obyektif dalam hubungannya dengan kesadaran pertimbangan, tetapi obyek-obyek konseptual benar-benar bersifat obyektif.
      Masalah persepsi tetap merupakan masalah yang paling besar yang tidak terpecahkan di dalam keseluruhan epistemologi.
Sumber: ppt yang dikirimkan sesuai pertemuannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar